Menasehati Anak Yang Sedang Puber

Menghadapai sikap anak yang sedang mengalami masa transisi dari kanak-kanak menuju remaja atau telah memasuki masa taklif seringkali merepotkan para orang tua dan juga pendidik.

Ada yang pasrah dengan mengatakan, “Yah... mau gimana lagi, emang lagi masa-masanya!” Ada juga yang memperlakukan anak-anak usia tersebut sebagaimana memperlakukan anak kecil sehingga menimbulkan ‘pemberontakan’ dalam jiwa remaja.

Namun jika semua pihak: orang tua, pendidik, dan remaja itu sendiri menjalani semuanya dengan ilmu, Insya Allah tidak ada masalah yang sulit.

Sebuah wawancara imajiner antara seorang ayah dengan anaknya yang baru memasuki fase taklif.

Semoga bermanfaat khususnya para orang tua yang memiliki anak remaja atau para pendidik yang bergelut dengan pendidikan anak usia remaja.


[Termasuk kekeliruan jika membiarkan masa puber dibiarkan untuk bersenang-senang dan mengumbar hawa nafsu]

Kalau Anak Mengalami Kesulitan Belajar

Tak peduli betapa keras Anda mendorongnya, bisa saja anak Anda mengalami kesulitan akademis, entah dihadap PR yang sulit atau projek sekolah yang cukup berat. Alhasil, ia mengalami frustrasi atau bahkan stres. Bagaimana agar ia bisa mengatasinya? Orangtua musti berbuat apa?

Biarkan Anak Frustrasi
Ketika anak mengalami kesulitan mengerjakan PR atau hal yang berkaitan dengan sekolahnya, mereka acapkali marah dan jengkel, bahkan terkadang sampai meledak-ledak. Orangtua pun terheran-heran sambil bertanya-tanya, “Apa salahku?” Anda tidak berbuat salah sama sekali.

Kadang-kadang jika anak merasa tidak dimengerti di sekolah atau frustrasi karena mata pelajaran tertentu, mereka menjadi marah atau memprovokasi orangtuanya. Ini adalah caranya untuk membuat Anda merasa tidak berdaya atau marah, sama dengan yang dirasakannya. Seakan-akan anak Anda hendak berkata, ‘Maukah Ayah/Ibu mengambil rasa tak berdayaku untuk sementara?’ atau ‘Aku ingin Ayah/ibu merasakan apa yang aku alami’.

Membesarkan Anak Perempuan

Bagi banyak ayah, membesarkan anak perempuan menciptakan beraneka masalah yang berbeda-beda. Bahkan terasa makin menantang dan sulit dalam konteks budaya saat ini. Untuk memahami persoalan ini dengan lebih baik, lebih baik kita mengeksplorasi harapan para ayah terhadap anak perempuannya, yang sebagian besar merupakan warisan dari para ayah dan kakek kita.

Harapan Budaya 

Sebagian pria merasakan dorongan kuat untuk mengontrol anak perempuannya dan mengharapkannya bertindak “manis” setiap waktu. Sebagian lainnya memandikan anak gadisnya dengan semua barang dan hadiah yang bahkan tidak mereka butuhkan. Dan sebagian ayah lainnya melihat anak perempuannya sebagai makhluk yang lebih lemah dibandingkan anak-anak lelaki dan karenanya sengaja tidak mendisiplinkannya dan tidak menjadikannya anak yang kuat.

Para ayah dengan mudah memperlakukan anak laki-laki dan perempuan secara berbeda. Mereka bisa bermain dengan berguling-guling, saling memiting leher atau bermain lumpur di lapangan sepak bola dengan anak lelaki. Namun kepada anak perempuannya, mereka seperti menghadapi boneka kristal yang jika tak dielus halus akan pecah berantakan.

Padahal, kesempatan untuk bergulat atau bermain secara fisik dengan anak perempuan sangatlah penting, karena menunjukkan bahwa Anda percaya mereka mampu mengatasinya. (Namun, bukan gagasan yang baik jika Anda baru akan memulainya sekarang, sementara anak gadis Anda sudah berumur 18 tahun).

Patokan


Jika kita fokus pada masalahnya, maka pikiran kita menjadi sempit, terbatas. Tepatnya, terpenjara oleh masalah itu. Entah itu masalah anak tak mau makan, nggak mau kenalan dengan orang, nggak mau angkat tangan padahal dia tahu jawabannya, nggak mau bangun, nggak berhenti-henti main game, nggak mau tidur siang, nggak mau sikat gigi, nggak mau belajar. Orangtua terpenjara oleh pikirannya sendiri, oleh keinginannya sendiri, oleh ledakan perasaannya saat itu.
Ya, kalau kita fokus pada “masalah,” maka itu sama dengan kita fokus pada “keinginan diri kita sendiri.” Kita menggunakan standar atau ukuran kita untuk diukurkan pada anak.

Contoh sederhana saja. Anda berjalan-jalan di mall. Anda (sendiri) ingin segera sampai di toko tujuan, maka Anda berjalan cepat. Tentu saja, anak Anda tertinggal. Lalu Anda berteriak, “Ayo, jalannya yang cepat!” Lalu Anda pun berjalan sambil menggeret anak. Anda MERASA bahwa yang punya masalah adalah anak karena ia berjalannya lambat. Padahal, apakah keinginan Anda untuk cepat sampai itu dikatakan kepada anak? Tidak kan? Apakah panjang kaki Anda sama dengan panjang kaki anak? Tidak, kaki mereka masih pendek; sehingga secepat apa pun ia berjalan, akan tetap kalah cepat dibandingkan yang kakinya lebih panjang, diri Anda. Bahkan ketika memerintahkan jalan cepat itu pun, tetap tidak disertai alasannya.

Jajan dan Uang Jajan, Perlukah?

Ketika si kecil merengek ingin dibelikan snack atau kudapan jajanan lainnya, apa yang Anda lakukan? Meluluskan permintaannya dengan mudah, menolak mentah-mentah atau ‘terpaksa’ membeli karena tangisnya mulai menarik perhatian banyak orang?

Bagi banyak orangtua, urusan jajan menjadi tantangan tersendiri. Ibarat dua sisi mata uang yaitu ingin membahagiakan anak namun juga harus mendisiplinkannya. Apalagi, iklan di televisi dan film cukup memengaruhi kebiasaan jajan. Belum lagi pengaruh kebiasaan teman dan keluarga. Apalagi bila diiming-imingi hadiah jika membeli produk tertentu.

Akan tetapi, sebesar apa pun pengaruh dari luar, kendali ada di tangan kita, para orangtua! Sebelum menuruti keinginan anak-anak untuk jajan, cobalah kiat berikut: