Jika kita fokus pada masalahnya, maka pikiran kita menjadi sempit, terbatas. Tepatnya, terpenjara oleh masalah itu. Entah itu masalah anak tak mau makan, nggak mau kenalan dengan orang, nggak mau angkat tangan padahal dia tahu jawabannya, nggak mau bangun, nggak berhenti-henti main game, nggak mau tidur siang, nggak mau sikat gigi, nggak mau belajar. Orangtua terpenjara oleh pikirannya sendiri, oleh keinginannya sendiri, oleh ledakan perasaannya saat itu.
Ya, kalau kita fokus pada “masalah,” maka itu sama dengan kita fokus pada “keinginan diri kita sendiri.” Kita menggunakan standar atau ukuran kita untuk diukurkan pada anak.
Contoh sederhana saja. Anda berjalan-jalan di mall. Anda (sendiri) ingin segera sampai di toko tujuan, maka Anda berjalan cepat. Tentu saja, anak Anda tertinggal. Lalu Anda berteriak, “Ayo, jalannya yang cepat!” Lalu Anda pun berjalan sambil menggeret anak. Anda MERASA bahwa yang punya masalah adalah anak karena ia berjalannya lambat. Padahal, apakah keinginan Anda untuk cepat sampai itu dikatakan kepada anak? Tidak kan? Apakah panjang kaki Anda sama dengan panjang kaki anak? Tidak, kaki mereka masih pendek; sehingga secepat apa pun ia berjalan, akan tetap kalah cepat dibandingkan yang kakinya lebih panjang, diri Anda. Bahkan ketika memerintahkan jalan cepat itu pun, tetap tidak disertai alasannya.
Nah, kalau Anda lihat, hampir semua persoalan anak itu adalah masalah versi orangtua. Menurut keinginan orangtua. Berdasarkan parameter orangtua. “Tidak mau makan,” karena orangtua ingin anaknya makan apa saja, dengan cepat, tidak berbunyi, habis berapa pun porsi yang ditumpahkan orangtua ke piring anak, pintar menggunakan sendok dan garpu, bersih tidak berjatuhan. Bayangkan jika diri Anda baru masuk kantor hari pertama setelah lulus sarjana, lalu mendapat boss supergalak, di mana pada hari pertama itu Anda diminta sudah bisa mengerjakan segala hal dengan sempurna layaknya manajer yang sudah bekerja belasan tahun. Sanggup? Syarat yang supertinggi untuk balita yang otot-ototnya saja masih belum berkembang sempurna untuk memegang sendok, yang ukuran lambungnya masih kecil, yang jumlah giginya tidak sama dengan Anda, yang baru mengenal satu-dua jenis makanan, yang baru mengenal satu-dua jenis bebauan, yang kadang-kadang klep antara tenggorokan dan kerongkongan masih suka salah buka dan tutup.
Mau contoh lain? Anak takut bertemu orang baru. Nah, Anda yang sarjana baru lulus dan baru bekerja sehari itu ternyata harus bertemu mewakili perusahaan dalam sebuah pertemuan antara Presiden dengan para CEO. Saya yakin, sebesar apa pun rasa percaya diri Anda, Anda akan gemetar. Jangankan bertemu para petinggi negara, bertemu artis di mall saja, banyak orangtua yang gemetaran tak bisa berpikir koq. Hla kalau selama ini anak Anda tidak pernah diajak ke luar rumah, berkenalan dengan tetangga ya tentu keder. Kalau selama ini Anda tak pernah berdansa, mendadak ada yang mengajak menari, sanggupkah? Jadi, meski “cuma” bermain, itu pula yang dirasakan oleh anak Anda ketika anak kecil yang baru dikenalnya mengajaknya bermain. Anda sarjana teknik sipil, kalau di suruh melakukan rekrutmen calon staf marketing; sanggup tidak? Atau Anda yang sarjana psikologi, jika di suruh menangani keluar masuk barang di gudang, apa tidak keder? Begitu pula dengan anak kecil yang pede di rumah, bisa saja tidak pede di sekolah atau di tetangga atau di taman.
Bahkan kriteria-kriter
Bahkan kecakapan-kecak
Sebaliknya, jika Anda fokus pada “apa ya solusi dari masalahku ini?” maka pintu penjara Anda akan terbuka lebar. Anda akan lebih mampu mengamati situasinya dengan lebih seksama. Anda lebih mungkin mengajukan pertanyaan-pert
Seperti Anda lihat, daftar pertanyaan evaluasi itu merujuk bukan hanya kepada anak, tetapi malah lebih banyak pada orangtua. Mengapa? Karena orangtua yang lebih mampu berpikir, bertindak dan membantu anak. Agar anak mampu mengatasi masalahnya, orangtua mesti membantu anak menemukan masalahnya dan membantu anak untuk menemukan alternatif-alte
Daftar pertanyaan itu memang lebih banyak merujuk kepada orangtua, juga karena orangtua memang memberi teladan dan berperilaku tertentu yang sangat mudah dibaca dan diketahui oleh anak. Anak takut masuk kelas, karena bahasa tubuh, ucapan selamat tinggal, bahkan kulit Anda menggambarkan kecemasan Anda. Dan anak Anda tahu hal itu.
Ia marah-marah dengan menangis dan menggigit Anda padahal ia sedang takut menghadapi sesuatu; misalnya ketika bertemu orang baru. Mengapa ia seperti itu? Karena orangtua pun sering takut atau khawatir atau cemas atau cemburu, tetapi menunjukkannya dengan marah-marah. Kalau Anda sering menutupi perasaan asli dengan kemarahan, ya sangat wajar bukan jika anak juga menutupi perasaan aslinya dengan tantrumnya?
Jadi, jika Anda ingin anak melakukan ini dan itu, jika Anda ingin anak menjadi ini dan itu, pertama-tama lakukan terlebih dahulu apa yang Anda inginkan untuk anak itu. Anda ingin anak tidak pilah-pilih makanan? Pertama-tama, Anda mesti mau makan apa saja! Anda ingin anak rajin belajar? Tunjukkan kepadanya, Anda pun masih belajar (Tak peduli Anda doktor atau CEO atau siapa pun). Jika Anda ingin anak ramah dan mau berbagi kepada orang lain, layanilah orang lain di mana pun dan kapan pun; ada atau tidak ada anak Anda di depan Anda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar